Dia menyalakan lagi rokoknya, entah rokok keberapa yang telah ia hisap setelah kami duduk di tempat ini. Matanya lelah. dan penuh kebingungan, serta tersirat juga kesedihan di sana pun sesekali ia tersenyum (yang tetap saja getir) ditengah ceritanya yang menggebu.
Aku menenggak kopiku, lalu sesekali mengangguk, dan terus mengulangi kedua hal itu hingga dia akhirnya bertanya, "Gue harus apa?". Itu mungkin sudah kesepuluh kali ia melontarkan pertanyaan yang sama, mungkin lebih banyak dari rokok yang telah ia bakar, entahlah, aku sudah menyerah menghitung keduanya.
Dan karena sebelum-sebelumnya jawabanku terus ia sanggah, kali ini pertanyaan itu kubiarkan menguap saja bersama asap rokoknya. Retoris, mungkin ia tidak sadar. Aku hanya menatapnya dengan segala empati yang masih kumiliki. Kemudian benar saja, ia kembali berbicara dan mengeluh lagi. Cerita yang telah ia ceritakan berkali-kali dengan frase-frase berbeda, yang sialnya buatku jadi hafal lebih dari materi-materi kuliah yang akan keluar di ujian lusa.
He reminds me a lot of a broken heart.
Kekalutan itu, racauan itu, dan kelelahan-kelelahan itu. Familiar.
Lucu bagaimana kau tidak perlu benar-benar patah hati untuk merasakan sakitnya; cukup pernah merasakannya sekali (yang sakit sekali), get over it, kemudian diminta berkaca pada rasa orang lain. Tiba-tiba kamu ingat tentang segala hal yang pernah menghantuimu dan menguasaimu sampai terasa di tengkukmu.
Kemudian aku tetap diam saja selama ia terus meracau. Bukankah tidak pernah ada yang tepat jika kamu berhadapan dengan orang yang sedang dikuasai oleh cinta, baik berbunga-bunga karenanya atau malah hancur dan lebam karenanya? Aku hanya akan mendengar semua keluh kesahnya, sampai ia temukan jalan keluar di tengah sumpah serapahnya -sebuah alasan untuk berhenti and letting go. Then again, isn't broken heart is a state of mind? Kamu cuma perlu berhenti membiarkan dirimu terus kembali ke sakit yang sama.
Nothing cures you from a broken heart, but your own self.
Aku menenggak kopiku, lalu sesekali mengangguk, dan terus mengulangi kedua hal itu hingga dia akhirnya bertanya, "Gue harus apa?". Itu mungkin sudah kesepuluh kali ia melontarkan pertanyaan yang sama, mungkin lebih banyak dari rokok yang telah ia bakar, entahlah, aku sudah menyerah menghitung keduanya.
Dan karena sebelum-sebelumnya jawabanku terus ia sanggah, kali ini pertanyaan itu kubiarkan menguap saja bersama asap rokoknya. Retoris, mungkin ia tidak sadar. Aku hanya menatapnya dengan segala empati yang masih kumiliki. Kemudian benar saja, ia kembali berbicara dan mengeluh lagi. Cerita yang telah ia ceritakan berkali-kali dengan frase-frase berbeda, yang sialnya buatku jadi hafal lebih dari materi-materi kuliah yang akan keluar di ujian lusa.
He reminds me a lot of a broken heart.
Kekalutan itu, racauan itu, dan kelelahan-kelelahan itu. Familiar.
Lucu bagaimana kau tidak perlu benar-benar patah hati untuk merasakan sakitnya; cukup pernah merasakannya sekali (yang sakit sekali), get over it, kemudian diminta berkaca pada rasa orang lain. Tiba-tiba kamu ingat tentang segala hal yang pernah menghantuimu dan menguasaimu sampai terasa di tengkukmu.
Kemudian aku tetap diam saja selama ia terus meracau. Bukankah tidak pernah ada yang tepat jika kamu berhadapan dengan orang yang sedang dikuasai oleh cinta, baik berbunga-bunga karenanya atau malah hancur dan lebam karenanya? Aku hanya akan mendengar semua keluh kesahnya, sampai ia temukan jalan keluar di tengah sumpah serapahnya -sebuah alasan untuk berhenti and letting go. Then again, isn't broken heart is a state of mind? Kamu cuma perlu berhenti membiarkan dirimu terus kembali ke sakit yang sama.
Nothing cures you from a broken heart, but your own self.
Comments
Post a Comment