"Would you," ia menghirup sisa-sisa oksigen dan keberanian yang tersisa di udara, "fall out of love?"
Dia mati-matian tetap menatap tepat di kedua mataku, padahal aku tau butuh lebih dari keberanian untuk melontarkan kalimat itu setelah sedari tadi yang ia lakukan cuma diam, dan sibuk mencari entah apa pada dirinya sendiri. Pembenaran, mungkin.
Detik itu jantungku melewatkan sekali denyutan. Entah kenapa dari dulu aku percaya kalau semesta telah mempersiapkan hari seperti ini, skenario terburuk dari mimpi terburuk sekalipun. Tetap saja, kata-kata itu seakan merusak sistem koordinasi sampai-sampai aku yakin sebentar lagi aku bisa terkena stroke ringan. Yang paling parah, rasanya seperti dihajar bertubi-tubi di bagian solar plexus. Lidahku kelu, tenggorokku mendadak kering, dan tatapan sendu yang biasanya tajam itu tak bisa lagi kuatasi. Ah, aku selalu kalah dalam permainan ini.
"Kenapa?" Kata apalagi yang bisa ku lontarkan, kan?
Lagi-lagi dia kehilangan kata-kata. Aku yakin kami tertelan oleh kepedihan yang sama. "Maaf."
Dari ujung mata aku dapat memastikan sesekali ia melirik kearahku. Sepertinya was-was sisi melankolisku kumat lagi.
Aku tertawa, tawa tergetir yang pernah aku rasakan. Hanya tawa yang bisa menahanku -menahan kami- dari segala ketegangan yang menggerogoti kami dari dalam. "Sama aja kayak berhenti percaya Tuhan." Aku menatapnya sebentar kemudian kembali menerawang sudut kosong itu.
Ia gagal menanggapi leluconku, bungkam lagi, kemudian salah tingkah sendiri.
Tidak adil bagaimana dirinya yang malah terlihat lebih frustasi. Padahal bukan ia yang menyaksikan orang yang ia cintai tidak lagi sanggup menerima cinta yang sebegitu besarnya setelah sekian lama, dan malah merasa terbebani.
"Bukan berhenti percaya, tapi kamu berada dalam lubang yang salah."
"Kalau begitu sama seperti pindah agama?" Aku tertawa lagi.
Ia diam lagi. Nampaknya kamus kosakata tebal yang terprogram di otaknya sedang bermasalah.
Giliran aku yang mencari sisa-sisa keberanian di udara mencekam yang kami hirup ini. Otakku kehabisan padanan kata yang tidak menjadikan ia tersudut, lagi.
"As crazy as asking you to fall in love with me." Kali ini aku tidak tertawa, dan tidak satu pun diantara kami yang berani menatap satu sama lain.
Ia sedikit tersentak, aku saja tidak menyangka kata-kata itu bisa keluar dari mulutku sendiri. Kata yang selalu ada, dan bersembunyi meskipun kami berdua tau dimana tersembunyinya, hanya menunggu untuk muncul dengan sendirinya. Aku yakin perkataanku menyentil tepat di hatinya, sampai-sampai ia hanya bisa menunduk, seperti berpikir keras.
"Kamu...tidak pernah meminta." Ia masih tetap membuang pandangannya, hanya dalam mimpi buruk seperti ini laki-laki itu bisa menjadi seorang pecundang dihadapanku.
Kalimat itu lebih terdengar seperti lelucon, hanya saja tawaku benar-benar sudah habis. Yang benar saja... Entah sejak kapan pikiran kita berhenti beresonansi, dan percakapan ini menjadi percakapan tersulit dan terabsurd yang pernah kami rangkai.
"You know it never worked that way."
"Maaf." Dan lagi-lagi cuma kosakata itu yang tersedia di ujung lidahnya.
"Yang kita perlu cuma waktu untuk menjadikan segalanya tepat, kan?"
Diam-diam aku tau, saat semua ini berganti dengan realita, waktu sama sekali bukan jawaban yang kami cari.
.
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone
Comments
Post a Comment