His favorite music was Mogwai.
Malam itu ia memejamkan matanya, kemudian tersenyum begitu damai --bukan senyum bahagia atau senyum jahil yang pernah dia tunjukkan selama dua tahun aku mengenalnya. Auto Rock berkumandang dari speaker Honda Estillo-nya yang terparkir di sebuah lahan kosong tak jauh dari tukang tahu sumedang kesukaanku. Aku masih sibuk mengunyah tahu sumedang hangat yang barusan kami beli, ketika kemudian ia berkata, "If my life were a movie, Mogwai definitely would be the soundtrack. Makanya di setiap momen penting di hidup gua, harus ada lagu mereka dipasang."
Aku mencerna kalimat itu beberapa detik, seingatku bahkan ini pertama kali ia memutar lagu Mogwai di mobilnya. "Lah, lo jarang muter deh perasaan?"
"Tandanya lu gak lagi ada di momen penting hidup gua dong," katanya sambil nyengir.
"Ribet juga idup lo ya."
"Seriously tho, each of their songs has this cinematic effect in my head."
Aku menenggak air mineral botolan ku sebelum kemudian aku memutuskan untuk ikut menikmati gubahan band asal Scotlandia itu. Kemudian lembang yang dingin, cahaya Kota Bandung di bawah sana, tahu sumedang, dan dirinya, seakan terekam bersama dengan alunan lagu itu ke sebuah ruang khusus di memori otakku.
"Hey," katanya sehingga aku menoleh dan menangkap pandangannya yang lebih dulu mencari mataku. "May I kiss you?"
Mengernyit adalah respon pertamaku, kemudian aku tergelak. "Dude where did that come from?" Aku benar-benar tidak habis pikir, memangnya jawaban seperti apa yang ia harapkan keluar dari mulutku?
"Dari tadi gua udah mikirin...tapi kalo langsung nyosor takut digaplok." Katanya, terlalu jujur.
"Main aman lo y-"
Seketika ia menarik daguku ke arahnya dan melumatkan bibirnya ke bibirku. Aku masih ingat jelas bagaimana napasnya menderu, serta bagaimana aku menyambut ciumannya. Tangan kirinya -yang entah bagaimana bisa hangat- memegang tengkukku. Darahku rasanya berdesir begitu kencang, padahal ritme yang ia berikan pelan.
Tiga detik saja, kemudian kami sama-sama langsung menarik diri masing-masing dan menghadap ke kaca depan mobil. Aku yakin betul bagaimana mukaku begitu merah dan rasanya darah naik semua ke kepalaku. Aku tak pernah tau bagaimana ekspresinya kala itu karena aku tidak berani melirik ke arahnya sedikitpun.
Memori itu masih ada, hingga ke detil-detil kecil seperti bagaimana aku salah tingkah dan meminum air mineralku lagi, atau bagaimana ia kemudian mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Memori itu masih ada, dan akan selalu ada, bahkan setelah berbagai ciuman pertama lainnya.
Sampai hari ini aku masih selalu penasaran akan momen penting apa lagi yang ada di hidupnya ketika profil Spotify-nya sedang memutar Mogwai.
--
Comments
Post a Comment