Ada bercak air di langit-langit kamar kosan saya yang menjadi satu-satunya pusat penglihatan (selain layar hp) sementara pendengaran saya khusyuk pada alunan Suck It and See. Entah sejak kapan bercak itu menjadi hiasan di sana. Kemudian ada juga bercak di solar plexus saya -mungkin- karena saya yakin hepar dan jantung saya benar-benar normal, bercak atau apapun yang menjadikan saya tidak utuh, dan menggerogoti saya entah sejak kapan juga. Saya khawatir atap kamar saya ini suatu saat runtuh, begitupun saya khawatir diri saya tidak akan kembali utuh.
Kemarin lalu, untuk pertama kalinya, saya ingin sekali melakukan suatu hal itu dengan benar. Tapi bukan kebenaran atau realisasi dari manusia lain untuk menjadikan hidup seseorang lengkap, atau minimal cukup. Menjadi benar tidak pernah menjadi jawaban, terlebih lagi ketika definisi 'benar' itu pada dasarnya abstrak. Dulu saya percaya keterbatasan saya ada pada kemampuan saya melakukan suatu hal itu dengan benar, hal yang selalu memagari saya. Tapi ketika saya benar pun, saya salah. Saya hanyalah sebuah kunci konvensional yang dipaksa membuka pintu berbasis kartu, tidak peduli diasah seperti apa. Kali ini saya tau saya tidak salah, semua sudah saya lakukan dengan benar -saya yakin. Sekali lagi, kali ini kebenaran saya itu tidak lah cukup.
Saya masih di kotak yang sama, benar tidak membawa saya kemana pun. Ketidakutuhan kembali menggerogoti saya.
Ah ya, seperti yang saya bilang "sekali saja" memang benar-benar hanya sekali. Itu pertama kalinya saya merasa harus benar, dan itu juga kali terakhir.
"I pour my aching heart to a pop song, I couldn't get a hang of poetry.
Be cruel to me cause I'm a fool for you."
Sent from my iPhone
Kemarin lalu, untuk pertama kalinya, saya ingin sekali melakukan suatu hal itu dengan benar. Tapi bukan kebenaran atau realisasi dari manusia lain untuk menjadikan hidup seseorang lengkap, atau minimal cukup. Menjadi benar tidak pernah menjadi jawaban, terlebih lagi ketika definisi 'benar' itu pada dasarnya abstrak. Dulu saya percaya keterbatasan saya ada pada kemampuan saya melakukan suatu hal itu dengan benar, hal yang selalu memagari saya. Tapi ketika saya benar pun, saya salah. Saya hanyalah sebuah kunci konvensional yang dipaksa membuka pintu berbasis kartu, tidak peduli diasah seperti apa. Kali ini saya tau saya tidak salah, semua sudah saya lakukan dengan benar -saya yakin. Sekali lagi, kali ini kebenaran saya itu tidak lah cukup.
Saya masih di kotak yang sama, benar tidak membawa saya kemana pun. Ketidakutuhan kembali menggerogoti saya.
Ah ya, seperti yang saya bilang "sekali saja" memang benar-benar hanya sekali. Itu pertama kalinya saya merasa harus benar, dan itu juga kali terakhir.
"I pour my aching heart to a pop song, I couldn't get a hang of poetry.
Be cruel to me cause I'm a fool for you."
Sent from my iPhone
Comments
Post a Comment